Memaknai Hari Santri dan Hari Pahlawan: Jihad Ilmu dan Perjuangan Eksistensi Pesantren

Memaknai Hari Santri dan Hari Pahlawan: Jihad Ilmu dan Perjuangan Eksistensi Pesantren

 

 Dr. Adian Husaini

Tepat pada 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan. Perayaan ini memiliki kaitan yang sangat erat dengan Hari Santri Nasional yang diperingati beberapa hari sebelumnya, yakni pada 22 Oktober. Kedua peringatan ini tidak hanya menyingkap sejarah perjuangan bangsa, tetapi juga menegaskan kembali eksistensi dan jati diri Pondok Pesantren di Indonesia.

Adianhusaini.id, Jakarta-- Dunia pendidikan Islam di Indonesia baru saja menerima hadiah yang sangat penting. Dengan jumlah santri yang telah mencapai lebih dari 5 juta orang dan jumlah Pondok Pesantren (Ponpes) yang sangat besar—lebih dari 42.000 Ponpes terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag)—Pemerintah, melalui Presiden, telah membentuk Direktorat Jenderal Pondok Pesantren. Hal ini menjadi bentuk pengakuan dan perhatian negara terhadap lembaga pendidikan Islam yang terus bertumbuh sejak disahkannya Undang-Undang Pondok Pesantren pada tahun 2019. Pondok Pesantren, seperti Pesantren At-Taqwa Depok, beroperasi di bawah izin operasional dari Kemenag.

 

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki alasan historis yang sangat menarik dan mendalam. Hari tersebut dikaitkan dengan momen dikeluarkannya Resolusi Jihad atau fatwa jihad oleh Hadratus Syekh K.H. Hasyim Asy'ari. Fatwa ini mengandung tiga inti penting:

  1. Kewajiban Mempertahankan Kemerdekaan: Mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah wajib (fardu) bagi umat Islam. Bahkan, bagi umat Islam yang tinggal dalam jarak safar (sekitar 80-90 km) dari Kota Surabaya, hukumnya adalah fardu ain (wajib bagi setiap individu Muslim). Kewajiban ini didasarkan pada prinsip jihad dalam mazhab Syafi'i, sebagai respons terhadap kedatangan tentara Sekutu yang bersama Belanda ingin menjajah kembali Indonesia, yang berarti tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan.
  2. Syuhada bagi yang Gugur: Siapa pun yang gugur dalam perang melawan penjajah dihukumi sebagai syahid atau syuhada.
  3. Hukuman bagi Pengkhianat: Siapa pun yang berkhianat dan membantu musuh (penjajah) dihukum mati.

Fatwa jihad ini memiliki dampak yang sangat besar, memicu semangat perlawanan umat Islam. Surat kabar Kedaulatan Rakyat saat itu mencatat bahwa 60.000.000 kaum Muslimin Indonesia siap berjihad fi sabilillah.

Penetapan Hari Santri ini menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan bagi umat Islam dan kemerdekaan bagi agama Islam, yang memberikan peluang untuk menentukan kebijakan sendiri, membangun sistem pertahanan, dan membawa NKRI menjadi negara yang kuat.

Meskipun sempat ada kekecewaan di kalangan tokoh Islam terkait penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945, para ulama tetap sepakat bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah wajib. Ini menunjukkan bahwa para ulama kita tidak pernah mendikotomikan (memisahkan) antara Islam dan Indonesia atau Islam dan NKRI. Semangat para santri adalah semangat jihad.

Pondok Pesantren, menurut Pak Natsir, didirikan oleh para Kiai sebagai lembaga perjuangan. K.H. Sholeh Iskandar, seorang ulama besar dan tokoh nasional, dikenal dengan teorinya bahwa pesantren adalah:

  • Lembaga tafaqquh fi al-din: Lembaga untuk memahami agama secara benar, komprehensif, adil, dan mendalam.
  • Lembaga iqamatuddin: Lembaga untuk melahirkan para pejuang agama.

K.H. Hasyim Asy'ari sendiri tidak pernah memisahkan antara memperjuangkan agama dan memperjuangkan negara. Dampak dari fatwa jihad ini adalah turunnya ratusan ribu santri, kiai, dan masyarakat untuk melawan pasukan terbaik di dunia, yaitu pasukan Sekutu, pemenang Perang Dunia II. Para pejuang dengan senjata ala kadarnya tidak gentar karena adanya jaminan dari ulama bahwa mati dalam perjuangan adalah syahid dan masuk surga.

 

Hari Pahlawan mengingatkan kita bahwa seseorang disebut pahlawan bukan karena kekayaan, ketenaran, atau jabatan, melainkan karena jasa dan pengorbanannya, terutama pengorbanan terhadap hal yang paling dicintai, yaitu nyawa, demi kemerdekaan. Pahlawan adalah orang-orang yang anfa'uhum li al-nas (yang paling memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia).

Inilah sejatinya jati diri pesantren: tafaqquh fi al-din dan iqamatuddin.

 

Para ulama, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziah, merumuskan bahwa jihad memiliki tingkatan (maratib al-jihad), yang dimulai dari:

  1. Jihad melawan hawa nafsu (mujahadah li al-nafs).
  2. Jihad melawan setan.
  3. Jihad melawan kaum kafir.
  4. Jihad melawan kaum munafikin.

Jihad yang dihadapi sehari-hari oleh santri modern adalah pengendalian hawa nafsu, yang dimanifestasikan dalam empat hal:

  1. Jihad mencari ilmu.
  2. Jihad mengamalkan ilmu.
  3. Jihad mendakwahkan ilmu.
  4. Jihad sabar menerima konsekuensi dari mendakwahkan ilmu.

Rasulullah SAW juga telah menegaskan bahwa barang siapa keluar rumah untuk mencari ilmu, ia sudah berjihad di jalan Allah. Islam menempatkan ilmu di tempat yang sangat mulia, dan niat adalah kuncinya.

Karya-karya ulama, seperti Hidayatul Hidayah karya Imam Al-Ghazali dan Ta'lim Muta'allim karya Syekh Az-Zarnuji, memberikan peringatan keras tentang niat mencari ilmu. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa jika tujuan mencari ilmu adalah untuk:

  • Berlaga hebat.
  • Dipuji dan mendapat perhatian manusia.
  • Menghimpun harta benda dunia.

Maka, itu adalah tindakan menghancurkan agama dan diri sendiri, serta menjual akhirat demi dunia.

Oleh karena itu, niat di Pondok Pesantren haruslah untuk berjuang di jalan Allah. Ilmu yang bermanfaat (ilman nafi'an) adalah ilmu yang diamalkan dan diajarkan. K.H. Imam Sarkasih, pendiri Pesantren Gontor, berpesan bahwa orang besar bukanlah sekadar pejabat, pengusaha, atau ketua ormas, tetapi adalah mereka yang lulus dari Pondok, lalu mengajarkan ilmu yang telah didapatkannya ke berbagai pelosok, kaki gunung, hingga kolong jembatan.

Jati diri pesantren, hakikatnya (the nature of pesantren), adalah lembaga keilmuan dan lembaga perjuangan. Jika pesantren sudah tidak lagi mencita-citakan diri sebagai lembaga perjuangan, niatnya bukan lagi berjuang di jalan Allah, maka sejatinya pesantren itu sudah runtuh, meskipun bangunannya megah.

 

Dalam zaman sekularisme dan materialisme yang dominan, di mana kemuliaan sering diukur dari kekayaan, jabatan, dan kepopuleran, santri harus terus menjaga kehormatan pesantren sebagai lembaga perjuangan yang melahirkan pahlawan.

Hakikat santri adalah orang-orang yang paling berguna bagi manusia, dan pekerjaan yang paling mulia adalah pekerjaan para nabi: tablig (berdakwah) dan memperjuangkan tegaknya kebenaran (hikmatul aliyah).

 

Memperingati Hari Santri 22 Oktober dan Hari Pahlawan 10 November adalah pengingat bahwa para santri adalah pahlawan, orang-orang yang mengorbankan diri demi tegaknya cita-cita tinggi dan mulia: menjadi orang yang berguna di jalan Allah.

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait