PENULIS KRISTEN INI MEMUJI KECERDASAN PARA TOKOH ISLAM PERUMUS UUD 1945

PENULIS KRISTEN INI MEMUJI  KECERDASAN PARA TOKOH ISLAM PERUMUS UUD 1945

 

Artikel ke 1.768

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Banyak orang muslim Indonesia kecewa dengan dihapuskannya “Tujuh Kata” dalam Piagam Jakarta – yang kemudian menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Tapi, penulis Kristen bernama I.J. Satyabudi ini justru berpikir sebaliknya. Yang cerdas dan menang dalam perumusan sila pertama adalah Bapak-Bapak Islam.

            Dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah, I.J. Satyabudi menjelaskan: “Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu identik dengan “Ketuhanan Yang Satu”!”

            Pengakuan penulis Kristen itu merupakan hal yang unik dalam hal pemahaman tentang sila pertama Pancasila. Di kalangan umat Islam, masih banyak yang memandang bahwa perumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah wujud kekalahan perjuangan umat Islam, karena dicoretnya Tujuh Kata: (Ketuhanan) dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Bahkan, ada partai politik Islam yang berjuang upaya mengembalikan Tujuh Kata itu. Ada juga yang memandang bahwa sila pertama Pancasila merupakan satu bentuk pengorbanan umat Islam yang sangat besar. Umat Islam rela Tujuh Kata dicoret demi terpeliharanya Persatuan dan Kesatuan Negara Republik Indonesia. Padahal, tekanan pencoretan itu datang dari kaum minoritas. Jadi, pandangan I.J. Satyabudi tentang Sila Pertama itu patut dipikirkan.

Seperti kita ketahui, pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno, berhasil meruuskan Piagam Jakarta. Bung Karno, senantiasa berusaha meyakinkan, sampai akhir kekuasannya, bahwa Piagam Jakarta adalah jalan kompromi maksimal yang bisa diraih yang bisa mempersatukan rakyat Indonesia.

Menjawab sejumlah pihak yang menolak Piagam Jakarta, dalam sidang BPUPK, 11 Juli 1945, Bung Karno menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.”

Tapi, tekanan untuk mengubah Piagam Jakarta terus berlangsung, sampai  sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI,  17 Agustus 1945. Bahkan, kemudian, usaha untuk mengubah Piagam Jakarta, disertai dengan ultimatum.

Dalam bukunya, Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Bung Hatta menceritakan tekanan kaum Kristen tersebut: “… wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam kawasan Kaigun berkeberatan sangat atas anak kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Walaupun mereka mengakui bahwa anak kalimat tersebut tidak mengikat mereka, dan hanya mengikat rakyat yang beragama Islam, namun mereka memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas…Kalau Pembukaan diteruskan juga apa adanya, maka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.”  (Dikutip dari Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).

Lanjut baca,

PENULIS KRISTEN INI MEMUJI KECERDASAN PARA TOKOH ISLAM PERUMUS UUD 1945 (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait