Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Sejak tumbangnya Orde Baru, Reformasi Indonesia sudah berjalan 24 tahun. Jargon kebebasan dan Hak Asasi Manusia menjadi sangat dipuja. Di awal-awal reformasi, Orde Baru digambarkan sebagai rezim yang otoriter, korup, dan gagal menyejahterakan rakyat.
Presiden demi presiden datang silih berganti. Mulai BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, lalu Joko Widodo. Semua Presiden itu berjanji dan berusaha untuk memperbaiki kondisi kehidupan rakyat Indonesia, agar lebih mendekati tujuan bernegara, sebagaimana diamanahkan dalam Pembukaan UUD 1945. Yakni, mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Kita sudah merdeka 76 tahun lamanya. Tentunya, itu bukan masa yang pendek. Berbagai negara, dalam waktu singkat, mampu melakukan lompatan-lompatan besar dalam kehidupan mereka, sehingga negara mereka dikenal sebagai negara yang disegani. Sebut saja, misalnya, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan bahkan Vietnam.
Tentu saja, kita tidak dapat mengatakan, bahwa selama 76 tahun merdeka, tidak ada kemajuan apa pun pada negara dan bangsa Indonesia. Tetapi, dengan potensi kekayaan alam yang luar-biasa dahsyatnya, potensi jumlah penduduk yang sangat besar (tahun 2022: 274 juta), dan juga potensi religiusitas, seharusnya Indonesia mampu melakukan lompatan-lompatan besar dalam meraih prestasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Setelah 76 tahun merdeka, sepatutnya, kita sudah mampu belajar dari perjalanan bangsa dan kepemimpinan para presiden terdahulu. Saatnya kita menengok ke depan; berjuang mewujudkan amanah para pendiri bangsa untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang adil dan makmur!
Selama 76 tahun, pendulum kehidupan berbangsa dan bernegara terus bergerak kekiri dan kekanan. Terkadang, ketika pendulum bergerak terlalu ke kanan, maka muncullah kebebasan yang berlebihan. Sebaliknya, ketika pendulum bergerak kekiri, lahirlah iklim kehidupan berbangsa yang terlalu otoriter.
Terakhir, pendulum kebebasan bergerak begitu besar di era reformasi. Paham kebebasan terlalu dijunjung tinggi, termasuk bebas untuk merusak agama. Kini, patut dipertanyakan, apakah rakyat Indonesia sudah merasa lelah dengan berbagai kebebasan yang ternyata belum juga memunculkan kesejahteraan bagi sebagian besar rakyat Indonesia?
Bahkan, kondisi kebebasan yang nyaris tanpa batas telah memunculkan berbagai anarkis. Apalagi, jika apatisme terhadap penegakan hukum yang adil, semakin tertanam di hati masyarakat, maka akan muncul sikap tidak peduli terhadap persoalan bangsa. Maka, akan muncul anarkisme yang semakin meluas.
Kondisi semacam inilah yang pernah dibahas oleh filosof Yunani Socrates (469-399 SM). Menurut Socrates, kebebasan yang nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi, akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/apakah-tahun-2024-akan-muncul-napoleon-indonesia