Pada 12 Oktober 2019, Kompas.com menampilkan berita berjudul: “20 Persen Mahasiswa di Bandung Berpikir Serius untuk Bunuh Diri...”
Judul itu jelas mengerikan! Dalam beberapa bulan terakhir, memang mencuat kabar tentang beberapa mahasiswa yang bunuh diri di di Bandung. Menurut dokter kesehatan jiwa, Teddy Hidayat, peristiwa itu mengindikasikan tingginya angka bunuh diri di kalangan mahasiswa.
“Sekaligus menjadi bukti kegagalan perguruan tinggi dalam memberikan perlindungan dan keamanan mahasiswanya,” ujar Teddy, dalam arena World Mental Health Day di Bandung, Sabtu (12/10/2019).
Menurut Teddy, berdasarkan satu survei awal 2019, di satu perguruan tinggi di Kota Bandung, ditemukan 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri. Caranya, dengan cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Perilaku bunuh diri, sambung Teddy, merupakan puncak berbagai problem yang dihadapi mahasiswa. Bunuh diri itu masalah komplek; hasil interaksi faktor biologik, genetik, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di dunia, tiap tahun, 800.000 orang bunuh diri. Artinya, tiap 40 detik satu orang mati karena bunuh diri. Di Indonesia, 10.000 orang tiap tahun mati karena bunuh diri. “Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada kelompok remaja dan dewasa muda usia 15-29 tahun,” ucap Teddy.
*****
Data tentang angka bunuh diri di kalangan mahasiswa itu tidak bisa dianggap sepele. Itu sangat serius. Jika kelompok paling terpelajar di negara kita mengalami ‘gangguan jiwa’ semacam itu, bisa dibayangkan, bagaimana kondisi bangsa kita ke depan.
Ada apa sebenarnya dengan pendidikan kita? Apakah pendidikan tinggi telah gagal menghadirkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan? Tengoklah data yang muncul di google.com. Pagi ini, Kamis (17/10/2019), saat dimasukkan entri “university makes me …”, keluarlah data sebagai berikut: “university makes me cry, university makes me anxious, university makes me miserable, university makes me stupid, university makes me depressed, university makes me feel like a failure…”
Berbagai kisah mahasiswa yang resah, gelisah, cemas, depresi, sampai bunuh diri, bertebaran di media massa. Sekedar contoh, pada 10 Maret 2019 lalu, misalnya, AH (21 tahun) seorang mahasiswa perguruan tinggi terkemuka, ditemukan tewas gantung diri di kamarnya. Sebelum beraksi, ia sempat cekcok dengan pacarnya. AH sosok cerdas. Untuk masuk ke perguruan tinggi tersebut, ia harus bersaing dengan sekitar 30-40 calon mahasiswa lainnya.
Pada 3 September 2019, seorang mahasiswa S2 teknik elektro kampus terkenal di Bandung juga ditemukan tewas gantung diri. Ia dikenal sebagai mahasiswa berprestasi. Di tingkat S1, si mahasiswa lulus dengan IP 3,88.
Bahkan, dalam akun resmi kampusnya, disebutkan ia dan teman-temannya pernah membuat tugas akhir bertajuk SIMKA (Simulator Kereta Api). Tapi, dalam postingan terakhir media sosialnya, ia menuliskan sebuah puisi yang menggambarkan kesedihan dan kehampaan pada 3 Maret 2019.
Jadi, ada apa sebenarnya dengan Pendidikan Tinggi kita?
*****
Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof. Dr Satrio Soemantri Brodjonegoro, pernah menulis satu artikel berjudul “Marginalisasi Perguruan Tinggi”. Guru besar ITB itu menulis: “Sampai detik ini, pemahaman publik tentang fungsi perguruan tinggi ternyata belum utuh dan masih salah kaprah. Kesalahan fatal ialah penempatan perguruan tinggi negeri sebagai unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perlakuan terhadap perguruan tinggi swasta sebagai unit usaha dari yayasan atau badan wakaf.
Dengan kedudukan seperti itu, perguruan tinggi negeri (PTN) tidak lebih dari sebuah kantor jawatan, sementara perguruan tinggi swasta (PTS) tidak lebih dari sebuah unit usaha. Artinya, di sini terjadi marginalisasi fungsi perguruan tinggi dari yang seharusnya, yakni sebagai agen pembangunan bangsa melalui pengembangan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan manusia.”
Memang, tulis Prof. Satrio, PTN dan PTS terkesan menyelenggarakan pendidikan tinggi, tetapi sejujurnya mereka belum melakukan pendidikan tinggi secara utuh dan hakiki. Apa yang dilakukan oleh PTN hanyalah formalitas persekolahan tingkat tinggi (maksudnya setelah SMA/SMK), sedangkan yang dilakukan PTS saat ini adalah persekolahan tingkat tinggi dengan memperlakukan mahasiswa sebagai komoditas.
Akibatnya, mutu pendidikan tinggi di Indonesia sangat rendah karena jauh sekali dari hakikatnya.
Dengan kondisi perguruan tinggi seperti sekarang, maka perguruan tinggi semakin jauh dari tujuan pendidikan nasional. “Sebab, tujuan pendidikan nasional yang hakiki, yaitu mencerdaskan kehidupan berbangsa bernegara, belum tersentuh oleh kebijakan kementerian. Kementerian hanya membuat target capaian fisik yang pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk proyek fisik. Padahal, esensi pendidikan yang sebenarnya adalah pembentukan kapasitas, kompetensi, etika, sosio-kultural, kematangan, daya nalar, kerangka berpikir, dan pengambilan keputusan, yang harus dimiliki peserta didik,” tegas Prof. Satrio. (http://lldikti12.ristekdikti.go.id/2013/06/29/marginalisasi-perguruan-tinggi-oleh-satryo-soemantri-brodjonegoro.html).
*****
Tujuan pendidikan nasional, sebagaimana digariskan oleh UUD 1945 pasal 31 (3), adalah membentuk manusia beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Inilah sejatinya tantangan dan peluang besar umat Islam Indonesia. Yakni, menghadirkan model Pendidikan Tinggi ideal, yang menghasilkan lulusan-lulusan yang beriman, bertaqwa dan berakhak mulia. Nabi SAW bersabda, bahwa orang mukmin yang paling sempurna imannya, adalah yang terbaik akhlaknya!
Orang yang imannya baik laksana ‘syajarah thayyibah’ yang akarnya kokoh, dahan-dahannya menjulang tinggi dan memberi manfaat kepada manusia. (QS 14:24). “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat kepada sesama,” begitu pesan Nabi kita SAW.
Manusia beriman adalah manusia yang tenang hidupnya; tidak mudah resah, gelisah, atau berduka cita. Orang mukmin itu stabil dan tenang jiwanya, karena selalu berzikir kepada Allah. (QS 13:28). Pada saat yang sama, orang mukmin akan berusaha menjadi yang terbaik, meraih prestasi tinggi di dunia dan selamat di akhirat. (QS 3:110, 8:65).
Jadi, saatnya kita melakukan introspeksi. Lalu, bangkit dan bergerak dengan semangat baru, mewujudkan Perguruan Tinggi terbaik. Janganlah bertambah lagi anak-anak muda potensial yang ‘bunuh diri’. (Depok, 17 Oktober 2019).
Dr. Adian Husaini (Direktur Attaqwa College, PP Attaqwa Depok)