BHAIRAWA DAN KEBIJAKAN DAKWAH DI NUSANTARA

BHAIRAWA DAN KEBIJAKAN DAKWAH DI NUSANTARA

 Oleh: Dr. Susiyanto

(Dosen Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

 

Sejak ratusan tahun lalu, para pendakwah Islam dihadapkan pada tantangan berat saat mereka memasuki Tanah Jawa dan sebagian kawasan Nusantara.  Salah satunya, keberadaan sebuah sekte yang dikenal sebagai Bhairawatantra.  Aliran ini merupakan produk persatuan dari agama dan paham tertentu dalam senyawa yang bersifat sinkretisme. Ini menjadi Tantrayana atau Bhairawatantra yang menghasilkan ritual-ritual amoral dan membangkitkan kegelapan peradaban selama beberapa abad. (Lihat Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995). Hal.223-224).

Disebut Tantrayana sebab aliran yang awalnya lahir dari golongan Çakta ini menggunakan kitab suci yang dinamakan Tantra sebagai pegangan. Kitab ini berisi berbagai hal tentang keagamaan dan ritual atau pemujaan yang bersifat sihir dan gaib. Mantra, jampi, simbol-simbol mistik, dan pernik mistik lainnya memegang peranan penting dalam usaha manusia untuk mencapai persatuan dirinya dengan Tuhan. (Drs. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988). Hal. 34

Aliran ini juga sering dinamakan Bhairawatantra karena pemujaanya yang ditujukan kepada Dewa Siwa. Pada umumnya dalam Trimurti, Siwa dipandang sebagai Mahadewa (dewa tertinggi), Maheçwara (Maha Kuasa), dan Mahakala (Sang Waktu). Sebagai dewa  waktu, Siwa dianggap sebagai dewa yang sangat berkuasa sebab waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan, dan membinasakan. Pemujaan terhadap Siwa senantiasa disertai dengan permohonan, harapan, dan serati dengan rasa takut yang sangat. Siwa juga dianggap sebagai Mahaguru dan Mahayogi yang menjadi teladan dan pemimpin bagi para petapa. Secara khusus Siwa juga dipuja sebagai Bhairawa sebagai salah satu aspek perwujudannya yang siap membinasakan kehidupan dan segala yang ada. (Drs. Soekmono, Pengantar Sejarah … Ibid. Hal. 29).

Bhairawatantra merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan lebih mudah diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo, Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89).

 

Ritual seks bebas

 

Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari  matsiya (ikan), mamsa (daging), mada (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan makhluk halus hingga “kerasukan”, juga berarti sikap tangan yang dianggap melahirkan kekuatan gaib), dan maithuna (seks bebas). (Prof. Dr. H. M. Rasjidi,  Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 68. Lihat juga  Drs. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988). Hal. 33-34).

Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448).

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/bhairawa-dan-kebijakan-dakwah-di-nusantara

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait