Artikel ke-1.714
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu keunikan ciri budaya ilmu dalam Islam adalah tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, dimana seorang yang – meskipun berilmu tinggi – tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi.
Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan. Di dalam ilmu hadis, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya.
Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah.
Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh. Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya, meskipun amalnya bejat. Seorang ilmuwan di Barat, tetap dianggap sebagai ilmuwan yang dihormati, meskipun tidak jelas agamanya dan amalan-amalan agamanya.
Paul Johnson, dalam bukunya “Intellectuals” (1988), memaparkan kehidupan dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia internasional saat ini, seperti Ruosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, Jean-Paul Sartre, dan beberapa lainnya. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens.
Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya adalah pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat Hemingway sembahyang selama dua kali, yaitu saat perkawinan dan pembaptisan anaknya. Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, dia berganti agama menjadi Katolik Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap ‘organized religion’ sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. (He not only did not believe in God, but regarded organized religion as a menace to human happiness).
Karena itu, para pemerhati keagamaan dan keilmuan perlu berhati-hati ketika melakukan penelitian sejarah. Jangan sampai menggunakan kasus-kasus yang terjadi di dunia Barat dalam soal keilmuan sebagai parameter untuk menilai para ulama dan ilmuwan muslim.
Para ulama kita memahami niat dan tujuan yang mulia dari Sayyidina Utsman bin Affan r.a. dalam menghimpun Mushaf al-Quran; bukan untuk kepetingan keluarga atau suku bangsanya. Imam Bukhari mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits Nabi juga bukan untuk kepentingan dirinya. Begitu juga Imam Syafii dalam merumuskan ilmu Ushul Fiqh.
Kita tidak patut mencurigai tindakan keilmuan sahabat-sahabat Rasululullah dan ulama-ulama Islam yang begitu besar jasanya terhadap pengembangan keilmuan Islam, sehingga kita harus menyatakan, bahwa mereka semua pasti punya kepentingan.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/budaya-ilmu-dalam-islam-menyatukan-ilmu-dan-akhlak