Artikel Terbaru ke-1.964
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Hari-hari ini kita membaca banyak berita dan melihat tayangan-tayangan tentang caci-maki kepada seorang tokoh atau suatu kelompok tertentu. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, sang tokoh dipuja-puji setinggi langit. Begitu juga, kelompok yang dicercanya, belum lama juga dipuja dan diikuti kata-katanya dengan membabi buta.
Kita ingat, ada seorang tokoh yang begitu populer di tengah masyarakat. Karena melakukan suatu tindakan yang tidak disukai opini publik – meskipun itu halal -- maka ia dihujat habis-habisan. Para penghujat itu seperti lupa akan kebaikan yang begitu banyak telah dilakukan oleh sang tokoh.
Dalam dunia politik, peristiwa seperti itu sering terjadi. Perbedaan pilihan dalam politik bisa menyebabkan terjadinya konflik tajam dalam kehidupan. Tapi, beberapa waktu kemudian, karena ada pandangan dan kepentingan politik yang sama, pihak-pihak yang berseberangan kembali berangkulan.
Kita paham, ada seorang yang begitu menggebu-gebu mendukung seorang calon presiden, lalu berubah haluan secara diametral, karena menempati posisi yang baru. Masyarakat tidak berkesempatan menelaah semua latar belakang perubahan sikapnya. Yang mereka tahu, politisi itu berubah-ubah perkataan dan sikapnya. Maka, ia dikatakan – dalam bahasa Jawa-- mencla-mencle, esok dhele sore tempe!
Ada pengikut satu partai yang selama bertahun-tahun menjadi pengikut setia partainya. Tiba-tiba, pimpinan partai mengambil kebijakan dan memilih calon pemimpin daerah yang tidak sesuai dengan pilihannya. Tanpa melakukan tabayyun kepada pimpinan partainya, ia langsung menulis di media sosial, melampiaskan kekecewaannya, dengan kata-kata yang cukup tajam. Bahkan, ada yang berjanji tidak akan memilih lagi partai itu.
Di era dominasi media sosial dan media online saat ini, peristiwa seperti itu sering kita jumpai. Tak perlu lama bagi kita saat ini untuk mendapatkan berita yang sifatnya instan, belum diolah dan diklarifikasi secara matang. Kaedah “cover all sides” dalam penulisan berita tak diterapkan dengan baik. Akibatnya, kita hanya mendapatkan cerita sepihak, tanpa mendengar klarifikasi dari pihak lainnya.
Cerita berikut ini patut kita jadikan bahan renungan. Alkisah, seorang Kyai di Solo pernah berkisah. Ini cerita fiktif. Tapi, bisa menjadi pelajaran berharga. Dahulu kala, ada seorang perempuan di suatu negeri entah berantah ditinggal mati suaminya. Sang istri ikut mengantar jenazah suaminya ke kuburan.
Hujan gerimis mengiringi upacara pemakaman. Hingga sempurna jenazah dikuburkan, para pengiring kembali ke rumah masing-masing. Tapi, sang istri tetap menunggui kubur suaminya. Ia duduk sambil mengipas-ngipas tanah kuburan yang agak basah.
Sebagian pengiring jenazah berpikir bahwa sang istri melakukan tindakan itu karena kecintaan yang besar kepada sang suami. Ia dianggap istri yang sangat setia dan cinta hidup-mati kepada suaminya. Apalagi, selama hidup berumah tangga, masyarakat tak mendengar kegaduhan diantara mereka.
Padahal, sebenarnya, ada kisah dibalik tindakan istri tersebut. Ia mengipasi kuburan suaminya agar tanahnya cepat kering. Suaminya pernah berpesan, bahwa jika ia meninggal dunia, maka istrinya boleh menikah lagi setelah tanah kuburannya kering.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/dalam-politik,-jangan-benci-dan-cinta-berlebihan