Artikel ke-1.785
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Banyak hal menarik dalam kisah perjalanan keilmuan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud saat belajar kepada Prof. Fazlur Rahman di Chicago University, Amerika Serikat. Ini dikisahkan dalam bukunya, Rihlah Ilmiah: Dari Neo-Modernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer. Salah satu yang menarik dan patut menjadi pelajaran berharga adalah kegigihannya dalam mempelajari beberapa bahasa, terutama bahasa Arab.
Prof. Wan Mohd Nor berkisah, bahwa ketika berjumpa pertama kali dengan Prof. Fazlur Rahman, ia ditanya tentang kemampuannya dalam bahasa Arab. “Saya tak ingat kata-kata pertamanya kepada saya kecuali pertanyaannya tentang bahasa Arab ketika saya meneleponnya buat pertama kali,” tutur Prof. Wan Mohd Nor.
Hanya saja, ia masih ingat nasehat Prof. Fazlur Rahman ketika ia selesai membaca naskah pra-cetak karya terbaru gurunya itu: Islam and Modernity. Itu terjadi sekitar Desember 1979, semester pertama Wan Mohd Nor belajar di Chicago University. Ia menyatakan bahwa karya Fazur Rahman sangat membantu dalam kajian di peringkat doktoral.
Tetapi, justru Prof. Fazlur Rahman menasehatinya: “Mohammad Nor, you must be critical…ask what are the meaning of things?” (Mohammad Nor, Anda harus bersikap kritis… tanyakanlah makna segala sesuatu!)
Menariknya, di Program Doktor Universitas Chicago itu, Wan Mohd Nor diwajibkan mengambil kuliah bahasa Arab. Begini penuturan Prof. Wan Mohd Nor: “Saya ingat mata pelajaran pertama saya di Chicago ialah kursus bahasa Arab asas dan bahagian pertama (dari tiga) kursus Islamic Civilization di bawah Stephan Humphreys. Kursus kedua oleh John Woods. (Kursus) ketiga oleh Richard Chambers. Saya mengambil kursus bahasa Arab sehingga ke tahap Advanced. Semuanya selama 3 tahun; dan 2 tahun bahasa Persia. Guru-gurunya adalad John Perry, seorang Yahudi yang amat peramah, dan Moayyad. Lulus kelas intensif bahasa German dan Perancis untuk pelajar pasca-sarjana: hampir lima jam sehari, lima hari seminggu. Selain dari penekanan mendalam terhadap nahwu, kami dilatih menterjemah teks-teks dari pelbagai genre dari tokoh-tokoh terkenal. Dari pengalaman-pengalaman ini saya amat menyanjungi minat sungguh mendalam para pelajar di sana untuk menguasai pelbagai bahasa asing, walaupun peluang-peluang pekerjaan tidaklah terlalu luas.”
Kepada Prof. Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor mengambil sejumlah kursus (mata kuliah), seperti Islamic Political Thought, Islamic Modernism, Islamic Family Law, dan Islamic Theology and Philosophy. Ia juga mengambil beberapa kursus bacaan teks seperti Readings in the Qur’an dan Readings in Kitab al-Tauhid of Maturidi.
Dalam semua kelas Prof. Fazlur Rahman itu, menurut Wan Mohd Nor, jumlah mahasiswa tak lebih dari 7-15 orang. Bahkan, kelas membaca Syair Mohammad Iqbal dalam bahasa Persia hanya dua orang yang mengikutinya, yaitu Wan Mohd Nor dan Ahmad Syafi’i Maarif dari Indonesia. Tapi, Fazlur Rahman tetap mengajar dua mahasiswa itu.
Kelas yang paling ramai ialah Islamic Civilization, sebab itu kelas wajib. Setiap semester hampir 150-200 pelajar dari NELC, Midddle Eastern Studies, South Asian Studies, dan malah dari Graduate School of Business. Dalam dua tiga tahun pertama itu, Wan Mohd Nor juga mengambil kursus bahasa Persia dan kursus intensif bahasa Jerman dan Perancis.
DI UNIVERSITAS CHICAGO SAJA BAHASA ARAB DIWAJIBKAN (adianhusaini.id)