DI ZAMAN PENJAJAHAN, UMAT ISLAM BERSATU MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN

DI ZAMAN PENJAJAHAN,  UMAT ISLAM BERSATU MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN

 

Artikel ke-1.674

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

Meskipun mendukung penuh gerakan misi Kristen di Indonesia, tetapi pemerintah penjajah juga tidak membebaskan begitu saja gerak misionaris di pelosok-pelosok Indonesia. Pemerintah kolonial tahu betul, bahwa gerakan misi Kristen kepada umat Islam pasti akan mendapat respon dan perlawanan yang keras.

Sebab, bagi orang Muslim yang masih memiliki keimanan Islam, masalah Kristenisasi tentu bukan masalah remeh temeh. Kristenisasi terhadap kaum Muslim identik dengan upaya pemurtadan yang merupakan tindakan dosa dan kejahatan serius dalam pandangan Islam. Di masa Penjajahan Belanda, gerakan misi Kristen pun dibatasi, karena dipandang sebagai hal yang sangat sensitif bagi umat Islam. 

Pada tahun 1939, Organisasi Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya melakukan protes atas rencana pencabutan artikel 177 Indische Staatsregeling. Menyusul berakhirnya Konferensi Zending se-dunia di Tambaran Madras India pada bulan Desember 1938, pihak Kristen menyuarakan tuntutan untuk menghapus artikel 177 Indische Staatsregeling, yang isinya menyatakan: "Guru-guru Kristen, pendeta dan misionaris harus mempunyai izin khusus yang diberikan oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya jika akan melakukan pekerjaan di salah satu bagian dari Hindia Belanda. Jika ternyata izin tersebut merugikan atau perjanjian-perjanjiannya tidak ditepati, maka izin itu dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal." (Pandji Islam no. 13, 27 Maret 1939, hlm.  5073. Artikel 177 Indische Staatsregeling tahun 1925 merupakan ganti dari artikel 123 Regeeringsreglement tahun 1854.).

Tuntutan ini bermula dari pidato Professor J. M. J. Schepper dari Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta di depan Indische Genootschap (Perkumpulan Hindia) di Den Haag. Dia berkata bahwa artikel tersebut telah tidak sesuai dengan zaman, tidak perlu terdapat ketakutan terhadap fanatisme kalangan Islam di Indonesia mengenai masuknya misionaris dan pendeta secara bebas. Dan artikel itu merupakan suatu ketidakadilan terhadap pihak agama Kristen, sedangkan pemerintah, demikian katanya, sebagai suatu badan yang netral terhadap agama,  sebenarnya tidak berwenang untuk menyelesaikan masalah seperti ini. (Lihat, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, hlm. 188—189. Lihat pula A. Moechlis, ”Sekali Lagi Lontjeng Geredja; Art. 177 I.S. Akan Dihapoeskan?” dalam majalah Pandji Islam no. 2, 9 Januari 1939, hlm. 3054.)

Menghadapi gerakan kaum misionaris Kristen seperti itu, umat Islam Indonesia pun melakukan aksi-aksi massal di mana-mana. Rapat untuk menolak rencana penghapusan artikel 177 I.S. dilakukan oleh umat Islam di beberapa daerah, di antaranya adalah keputusan Majelis Tanwir Muhammadiyah di Kudus, Rapat Umum Partai Islam Indonesia, Kongres Al-Islam Indonesia ke-2 yang dianjurkan MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia), Kongres NU (Nahdlatul Ulama), dan rapat protes umum terhadap pencabutan artikel itu oleh kombinasi 11 perkumpulan Islam di Yogyakarta. (Pandji Islam no. 34, 21 Agustus 1939, hlm. 3297). Kongres Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada 20 April 1939 di Cirebon juga membahas masalah tuntutan penghapusan artikel 177 I.S. (Pandji Islam no. 19, 8 Mei 1939, hlm. 6094.)  

Lanjut baca

DI ZAMAN PENJAJAHAN, UMAT ISLAM BERSATU MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait