Artikel Terbaru ke-2.109
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Tidak diragukan lagi, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah seorang pemikir dan sekaligus komandan pasukan perang yang hebat melawan pasukan sekularisme. Dalam bukunya, ”Islam: The Covenants Fulfilled”, Prof. al-Attas mengucapkan terimakasih kepada Dubes Turki untuk Malaysia yang telah memberikan dukungan kuat terhadap karya-karyanya tentang pentingnya pemikiran Prof. Al-Attas dalam pertempuran melawan pasukan sekularisasi.
”My indebtenedness to Her Excellency the Ambassador was due to her strong support of my work and keen perception of the importance of my ideas in combating the forces of secularization,” tulis Prof. Al-Attas.
Dalam berbagai tulisannya, Prof. Naquib al-Attas memang memberikan gambaran terjadinya pertempuran gagasan yang hebat antara Islam melawan sekularisme. Karena itulah, umat Islam dimintanya benar-benar memahami hakikat sekularisme itu dan bagaimana paham ini menyerang umat Islam dari segala penjuru.
Tahun 1973, dalam bukunya yang berjudul “Risalah untuk Kaum Muslimin” Prof. al-Attas berpesan kepada umat Islam: “Seperti juga dalam ilmu peperangan kau harus mengenali siapakah dia seterumu itu; di manakah letaknya kekuatan dan kelemahan tenaganya; apakah helah dan tipu muslihatnya bagi mengalahkanmu; bagaimanakah cara dia menyerang dan apakah yang akan diserangnya; dari jurusan manakah akan serangan itu didatangkan; siapakah yang membantunya, baik dengan secara disedari mahupun tiada disedari – dan sebagainya ini, maka begitulah kau akan lebih insaf lagi memahami nasib serta kedudukan Islam dan kau sendiri dewasa ini apabila penjelasan mengenai seterumu itu dapat dipaparkan terlebih dahulu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001).
Karena sifat dasarnya yang semacam itu, maka menurut Prof. al-Attas, antara peradaban Barat dan peradaban Islam akan selalu terjadi suatu pertempuran abadi (permanent confrontation) dalam tataran ide. ”The confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one,” jelas Prof. al-Attas.
Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran, dan bukan lagi agama. Agama dijadikan sebagai urusan pribadi. (The idea of modernity makes science, rather than God, central to society and at best relegates religious beliefs to the inner realm of private life). (Alain Touraine, Critique of Modernity, 1995).
Lanjut baca,