Artikel ke-1397
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
“Mendidik anak menguasai ilmu dan ketrampilan tertentu itu penting, tetapi saat ini, lebih penting mendidik anak agar siap dan minat belajar apa yang perlu,” kata seorang doktor yang juga praktisi pendidikan, kepada saya, suatu ketika.
Apa yang dikatakan itu benar, tetapi itu berlaku untuk ilmu-ilmu yang sifatnya fardhu kifayah. Untuk ilmu-ilmu yang fardhu ain, maka dalam kondisi apa pun, setiap muslim wajib berusaha meraihnya. Artinya, suka atau tidak suka, seorang muslim wajib memiliki ilmu fardhu ain. Misalnya, ilmu tentang bagaimana mengenal Allah, bagaimana cara shalat yang betul, dan bagaimana memiliki hati yang bersih dan berakhlak mulia.
Pada dasarnya, sang doktor pendidikan tersebut sedang berusaha menjelaskan tentang pentingnya para pelajar atau santri memiliki tradisi ilmu, sehingga ia cinta ilmu dan siap belajar ilmu-ilmu yang perlu. Memang, cinta ilmu adalah prasyarat seseorang untuk meraih ilmu. Imam Syafii rahimahullah, mensyaratkan enam hal agar seorang dapat meraih ilmu. Salah satunya adalah “hirsun” (haus ilmu).
Pada hari Selasa (27/12/2022), kami di Pesantren At-Taqwa Depok, kedatangan tamu, sejumlah pimpinan dan guru Pesantren Elkisi Mojokerto, Jawa Timur. Salah satu yang menjadi tema diskusi kami adalah bagaimana menanamkan sikap cinta ilmu kepada para santri. Sebab, di lapangan, proses penanaman cinta ilmu bukanlah hal mudah.
Guru Pesanren At-Taqwa, Dina Farhana, menjelaskan secara terperinci, bagaimana upaya membangun budaya cinta ilmu dan cinta menulis di Pesantren At-Taqwa Depok. Sejak di tingkat SMP, anak-anak sudah dilatih memahami berbagai kitab tentang ilmu, dibiasakan berdiskusi, membaca buku, dan juga menulis resensi buku dan laporan kegiatan.
Disamping ujian baca kitab, salah satu materi ujian kenaikan tingkat SMP adalah “micro teaching”, yakni latihan mengajar. Para santri diminta menyusun dan menulis materi ajar yang akan diajarkannya. Selama proses itu, mereka dibimbing oleh guru-gurunya. Pada tingkat SMP ini, mereka telah mengkaji sejumlah kitab klasik tentang ilmu, seperti Bidayatul Hidayah, Al-Arba’in an-Nawawiyah, Ta’limul Muta’allim, Adabul Alim wal-Muta’allim, dan sebagainya.
Di tingkat SMA (PRISTAC), anak-anak dibiasakan mengkaji pemikiran para ulama. Tugas akhir bagi mereka adalah menulis makalah serius tentang problematika yang dihadapi oleh masyarakat dan solusinya. Setelah itu, mereka harus mempresentasikan makalahnya di hadapan para guru, orang tua, dan juga sejumlah sekolah.
Dina Farhana menjelaskan, bahwa dalam upaya membangun tradisi cinta ilmu kepada para santri, maka para guru perlu menjadi contoh. Karena itu, tradisi menulis di kalangan para guru juga terus ditingkatkan. Guru diupayakan memiliki karya ilmiah yang diterbitkan dalam bentuk buku.
Dalam bukunya, Solusi Kekacauan Ilmu (Depok: YPI At-Taqwa, 2021), Fatih Madini menguraikan konsep budaya ilmu yang dirumuskan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud. Berdasarkan penelitiannya, mahasiswa STID Mohammad Natsir ini kemudian merumuskan empat hal yang dapat mendorong tumbuhnya tradisi ilmu (budaya ilmu) di tengah umat Islam: (1). Memahami kemuliaan urgensi ilmu beserta tradisi ilmu dalam Islam
(2). Memahami sejarah kegemilangan ilmu pengetahuan dalam Peradaban Islam (3) Mengikis penyakit sekolahisme dan linearisme (4) Mendudukan aktivisme dan intelektualisme secara adil.
Lanjut baca,