Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Ada sejumlah cendekiwan yang memandang filsafat perenialisme sebagai paham yang benar dan patut dianut oleh umat beragama. Tujuannya untuk membangun kerukunan umat beragama. Pandangan semacam ini sangat patut dikritisi.
Seorang cendekiawan terkenal pernah menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”
Sang cendekiawan ini bisa dikatakan salah satu pioneer dalam penyebaran paham perenialisme di Indonesia. Sesudahnya, semakin banyak cendekiawan di Indonesia yang tergoda untuk menganut dan menyebarkan paham ini. Sadar atau tidak. Paham atau tidak, akan akibatnya. Mereka beranggapan, bahwa dengan ide inilah maka akan tercipta kerukunan umat beragama, kehidupan bangsa yang damai dan harmonis. Sebab, paham ini berhasil meredam konflik agama-agama pada tingkat yang paling dini, yaitu pada level wawasan dan cara pandang terhadap agama lain yang tidak lagi ”menghakimi” atau ”menyalahkan” agama lain.
Gagasan tentang ”titik temu agama-agama” dikenal juga dengan ”kesatuan transcendental agama-agama (the transcendent unity of religions).” Tahun 2010, dalam pelantikannya sebagai guru besar sosiologi agama di sebuah perguruan tinggi Islam di Jawa Timur, seorang guru besar menulis, bahwa gagasan tentang titik temu agama-agama atau gagasan kesatuan transcendental agama-agama (the transcendent unity of religions) Frithjop Schuon, semakin memberikan afirmasi baik secara teologis maupun filosofis tentang pentingnya pengembangan studi agama berbasis multikulturalisme.
Sepintas, gagasan kesatuan agama-agama pada level transenden (Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA) tampak indah. Tapi, konsep ini sejatinya sangat serius kesalahannya. Sebab, KTAA memberikan keabsahan pada semua bentuk ibadah kepada Allah. Konsep KTAA jelas memberikan legitimasi terhadap bentuk penyembahan terhadap Tuhan apa pun selain Allah.
Seorang Muslim tidak mungkin berkeyakinan bahwa semua agama – apapun cara ibadahnya – adalah sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Padahal, syahadat orang Muslim sudah menegaskan, bahwa ”Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ini artinya, seorang Muslim harus menyembah satu-satunya Tuhan, yaitu Allah, bukan Yahweh, bukan Lata, bukan Uzza, bukan Setan, dan bukan Tuyul. Jika ada agama yang memiliki ritual penyembahan Tuyul atau menyembah Tuhan dengan cara telanjang sambil berjalan mengelilingi kampus, maka ibadah seperti itu pasti batil, karena tidak sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw.
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/kritik-terhadap-paham-perenialisme