Artikel Terbaru ke-1.972
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Menghadapi Pilkada serentak 2024, masih ada sebagian kalangan aktivis Islam yang menyebarkan opini bahwa pilkada adalah bagian dari sistem demokrasi yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, kaum muslim diajak untuk TIDAK menggunakan hak pilih dalam Pilkada.
Bahkan, ada yang menulis dan mengajak untuk bergabung dengan organisasi yang berjuang menegakkan syariah dan khilafah. Menurutnya, ikut memilih dalam Pilkada tidak ada gunanya, dan tidak akan membawa perubahan dan kemenangan Islam.
Memang, di era media sosial, siapa saja bisa menuliskan dan menyebarkan opininya, sesuai ilmu yang didapatnya. Kadangkala opini itu disebarkan tanpa kajian dan pertimbangan yang matang. Seolah-olah baru mendapatkan pemahaman tentang demokrasi lalu menyalahkan para pejuang Islam yang memilih jalan pemilu untuk memperjuangkan aspirasi Islam di Indonesia.
Sejatinya, opini semacam itu tidak bijak disebarluaskan dalam situasi menjelang Pemilu Nasional atau Pilkada. Kita patut menyimak sejarah dengan bijak. Tahun 1955, umat Islam Indonesia bisa dikatakan bersepakat untuk berjuang melalui pemilihan umum.
Waktu itu, tidak ada yang mengeluarkan fatwa haram ikut pemilu, dengan alasan pemilu merupakan bagian dari sistem demokrasi. Padahal, para ulama Indonesia sudah mengkaji kitab-kitab para ulama tentang fiqih politik, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah ditulis Imam Mawardi (w. 450 H/sekitar 1072 M).
Yang terlibat dalam Pemilu 1955 itu bukan ulama dan tokoh-tokoh sembarangan. Ada Mohammad Natsir, Buya Hamka, KH Wahid Hasyim, dan ribuan ulama Indonesia lainnya. Mereka sudah memahami kelemahan sistem demokrasi. Tapi, mereka memilih jalan itu, sebab itulah salah satu jalan perjuangan yang terbuka untuk memperjuangkan perbaikan umat Islam Indonesia.
Pada 12 November 1957, Mohammad Natsir berpidato di Majelis Konstituante. Ia mengritik sistem pemerintahan sekular dan juga sistem pemerintahan teokratis. ”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia. Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam.”
Para ulama Islam itu mampu menempatkan idealisme dan realitas dengan proporsional. Mohammad Natsir paham tentang kelemahan dan kekurangan demokrasi. Tapi, ia pernah menjadi Perdana Menteri RI dan memelopori mosi integral kesatuan NKRI. Sampai akhir hayatnya, Natsir tetap berjuang dalam bingkai NKRI. Tahun 2008, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Lanjut baca,