Artikel Terbaru ke-1.979
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Di akhir tahun 1960-an, Buya Hamka menulis tentang usulan perlunya diadakan perayaan Natal dan Idul Fithri bersama, karena waktunya berdekatan. Buya Hamka menolak usulan itu. Sebab, hal itu bukan untuk menguatkan keimanan dan kejujuran, tetapi justru menyuburkan kepura-puraan.
Buya Hamka menulis: “Si orang Islam diharuskan dengan penuh khusyuk bahwa Tuhan Allah beranak, dan Yesus Kristus ialah Allah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar tentang Nabi Muhammad saw dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi, melainkan penjahat. Dan al-Quran bukanlah kitab suci melainkan buku karangan Muhammad saja. Kedua belah pihak, baik orang Kristen yang disuruh tafakur mendengarkan al-Quran, atau orang Islam yang disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Allah itu ialah saru ditambah dua sama dengan satu, semuanya disuruh mendengarkan hal-hal yang tidak mereka percayai dan tidak dapat mereka terima… Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman, penutup sekalian Rasul. Jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan tidak ada toleransi. Sementara sang pastor dan pendeta menerangkan bahwa dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas kayu palang, dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat hanya percaya dan cinta dalam Yesus.”
Demikian kutipan tulisan Prof. Hamka yang ia beri judul: “Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme.”
Dalam pandangan ajaran Islam (QS 5:72-73, dll), disebutkan bahwa sungguh telah kafirlah orang-orang yang menyatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga; bahwa Allah sama dengan Isa Ibnu Maryam.
Bahkan, dalam al-Quran surat Maryam disebutkan, bahwa menyebut Allah memiliki anak, adalah satu “Kejahatan besar” (syaian iddan). Dan Allah peringatkan: “Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Bahwasanya mereka mengklaim bahwa al-Rahman itu mempunyai anak.” (QS 19:90-91).
Dalam sejarahnya, Islam sangat menghormati para pemeluk agama lain. Bahkan, agama Islam dikenal sebagai agama yang sangat toleran. Itu bukan hanya klaim kosong. Tapi, fakta sejarah membuktikannya.
Dalam bukunya, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), Karen Arsmtrong mencatat kisah indah tentang penaklukan Jerusalem oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khathab. Peristiwa itu terjadi pada 636 M. Penaklukan Jerusamen oleh pasukan Islam disebut sebagai “a peaceful conquest”, penaklukan yang damai. Kata Karen Armstrong: “Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam.”
Lanjut baca,