POTRET KEGAIRAHAN MENYAMBUT PERUBAHAN 2024

POTRET KEGAIRAHAN MENYAMBUT PERUBAHAN 2024

Artikel ke-1.800

Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)

            Pada 10 Februari 2024, masa kampanye Pemilu 2024 berakhir. Saya memantau situasi kampanye di sekitar Jakarta International Stadium (JIS) sejak 9 Februari 2024, sore hari. Suasana sekitar JIS sudah sangat ramai. Malam harinya di tengah terpaan hujan lebat, massa terus berdatangan, dari berbagai daerah.

            Di sebuah tempat penginapan yang tak jauh dari JIS, tampak banyak sekali massa berjubel. Tarif penginapan naik drastis beberapa kali lipat. Itu pun penuh. Tak ada kamar tersisa. Ibu-ibu dan beberapa anak juga tampak antusias menyiapkan diri untuk memasuki JIS, esok harinya.

Mereka memborong makanan dan barang-barang lain – seperti jas hujan -- yang diperlukan untuk mengikuti acara di JIS. Semua atas biaya sendiri. Itu semua dilakukan dengan semangat dan gembira. Tak ada kekhawatiran akan resiko berjubelnya jutaan massa yang dikabarkan telah mendaftar akan mendatangi JIS.

            Dan benarlah, subuh esoknya, JIS sudah mulai dijejali massa. Ratusan ribu massa bisa memenuhi JIS. Jutaan lainnya rela mengikuti acara dari luar JIS. Sejumlah tokoh, seperti HM Jusuf Kalla harus berjalan beberapa kilo meter untuk dapat memasuki arena JIS.

            Hari itu, JIS memang menjadi tempat pasangan Anies-Muhaimin untuk melakukan Kampanye Terakhir-nya.  Disebutkan, tempat itu dipilih dengan pertimbangan daya tampung, kemegahan, dan tentu saja terkait juga dengan rekam jejak prestasi Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Anies menyebut, JIS adalah mahakarya anak-anak bangsa sendiri. Ia menyampaikan pesan, bahwa anak-anak Indonesia mampu berdiri sejajar dengan anak-anak bangsa lain, di seluruh dunia. Khususnya dalam melahirkan karya-karya besar.

Tidak dapat dipungkiri, jutaan massa yang hadir di JIS, terutama terpikat dengan sosok Anies Baswedan. Suka atau tidak, harus diakui, kemampuan komunikasinya melebihi dua pasangan calon presiden lainnya: Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Padahal, Prabowo dan Ganjar pun dikenal memiliki kemampuan retorika yang cukup hebat.

Saat aktif menjadi wartawan pada era 1990-an, beberapa kali saya mendengar pidato Prabowo Subianto. Secara umum gaya pidatonya tidak berubah. Salah satu yang saya ingat, ia pernah beceramah di rumah H.A. Sumargono SE (alm). Ketika itu di hadapan puluhan tokoh Islam, ia berceramah tentang sejarah perkembangan Islam. Pidatonya memukau. Sejak puluhan tahun lalu, Prabowo dikenal dekat dengan tokoh-tokoh umat Islam.

Pada 10 Februari 2024 itu, saya hanya menyaksikan pidato Prabowo melalui layar televisi. Dengan kacamata jurnalistik, saya menyaksikan dinamika politik di Indonesia yang begitu dinamis. Di Gelora Bung Karno, dalam pidatonya, Prabowo menyebut berbagai tokoh yang dulu berseberangan dengannya. Tak hanya itu, beberapa orang itu selama berpuluh tahun menjadi pesaing-pesaing politikya. Kini, di tahun 2024, mereka berderet mendukung Prabowo.

Saya tidak pernah bertemu Prabowo lagi sejak tahun 1999. Tahun 2019, menjelang Pemilihan presiden, saat ibadah umroh,  saya hanya mendoakan dari jauh saja. Tahun 2024 ini, Prabowo diprediksi oleh banyak lembaga survei akan memenangi kontestasi Pilpres. Tapi, tidak sedikit pengamat yang memprediksi, jalan untuk sampai menjadi Presiden RI 2024-2029, masih cukup terjal. Apalagi, kalau sampai terjadi Pilpres dua putaran.

Lanjut baca,

AGAR BANGSA KITA CERDAS DAN TIDAK DUNGU (adianhusaini.id)

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait