Artikel ke-1.362
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Belajarlah dari sejarah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dan yang penting, kita perlu mengambil hikmah dari sejarah. Termasuk dalam mengkampanyekan soal politik identitas! Sebaliknya, umat Islam juga harus mampu membuktikan, bahwa agama mampu menjadi energi positif dan tuntunan untuk membangun pribadi-pribadi yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia.
Pemerintah Orde Baru pernah mencoba untuk menghilangkan identitas Islam dari panggung politik nasional dan akhirnya gagal. Untuk itu, digunakanlah Pancasila sebagai alat pemukul terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Berbagai istilah dan simbol-simbol Islam dibuang dari panggung politik dan kenegaraan.
Tahun 1973, dalam bidang politik, dilakukanlah penyederhanaan (fusi) partai-partai Islam. Empat partai Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti) digabungkan menjadi satu bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP waktu itu masih berlambang Ka’bah, sampai Pemilu 1982. Tahun 1983 keluar UU Parpol yang memaksa PPP mengganti asas Islam dengan asas Pancasila, dan menukar simbolnya dari Ka’bah menjadi Bintang.
Leo Suryadinata, dalam bukunya, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik, menguraikan secara panjang lebar penggunaan dan penafsiran Pancasila di masa Orde Baru. Ketika itu, Pemerintah Orde Baru menggunakan Golkar untuk mempromosikan ideologi Pancasila, dan kemudian menuntut agar semua organisasi kemasyarakatan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas.
“Pancasila kemudian semakin sering ditafsirkan sebagai bermakna pluralisme keagamaan dalam pengertian bahwa negara Indonesia berciri non-Islam, sesuai dengan keinginan abangan/priyayi,” tulis Leo.
Sementara itu, menurut Leo, pemerintah Orde Baru yang didominasi kelompok Muslim nominal menuduh bahwa kelompok Muslim santri atau kelompok anti-Pancasilais selalu berusaha untuk mengubah negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila menjadi sebuah negara Islam,” tambahnya lagi.
Leo Suryadinata menggambarkan bagaimana situasi ”Jawanisasi” pada tubuh Golkar yang kemudian dipaksakan untuk diterima oleh seluruh bangsa Indonesia. Sebagai contoh adalah penggunaan bahasa Sansekerta sebagai slogan-slogan dan istilah resmi kenegaraan atau dunia politik dan kemasyarakatan. Meskipun para petinggi di Indonesia selalu mengakui dan membanggakan Sumpah Pemuda tahun 1928 – yang mengikrarkan ”Berbahasa Satu Bahasa Indonesia” – tetapi faktanya, para elite negara ketika itu lebih bangga menggunakan bahasa Sansekerta.
Semboyan-semboyan kenegaraan dipenuhi dengan istilah-istilah Sansekerta yang tidak mudah dipahami oleh seluruh warga bangsa Indonesia. Misalnya, Golkar mempunyai semboyan ”Karya Siaga Gatra Praja” (Selalu Siap Membangun Negara). Ikrar Golkar disebut Panca Bhakti. Golkar juga sangat tertarik dengan angka-angka keramat. Menurut publikasi resmi Golkar, ”Karya Siaga Gatra Praja” mewakili angka 4, 6, 9, 1. Jika dibalik, susunan itu menjadi 1964, yakni tahun berdirinya Sekber Golkar.
Dalam rapat Kerja Golkar, Maret 1972, ditetapkan pembentukan sebuah sekretariat bersama dari berbagai aliran kepercayaan, yang akan diusahakan untuk memasukkan aliran kebatinan ke dalam GBHN. Usaha ini berhasil pada tahun 1978.
Menurut Leo Suryadinata, Golkar ketika itu bukan hanya sebagai mesin pemilu dalam politik, tetapi juga digunakan sebagai wadah aspirasi budaya muslim nominal dan non-Muslim dalam politik yang menentang Islam poilitik dan kaum fundamentalis Islam.
Dominasi kaum sekuler dalam politik Orde Baru akhirnya berdampak kepada upaya sekularisasi Pancasila. Pancasila ditempatkan sebagai posisi ”netral agama”, alias sekular. Kasus yang menonjol terjadi ketika pemerintah mengajukan satu RUU Perkawinan pada 30 Agustus 1973. Pasal 10 ayat (2) RUU Perkawinan itu menyebutkan: ”Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”
Lanjut baca,