Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Pada tahun 2014, bidang Marturia Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) menerbitkan buku berjudul “Diskursus Hubungan Agama dan Negara: Respons Gereja terhadap Perda Syariat” (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014). Salah satu topik menarik yang dikaji adalah kasus Peraturan Daerah (Perda) Kota Injil di Manokwari.
Perda “Kota Injil Manokwari” berawal dari usulan tokoh-tokoh agama Kristen tentang “Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”, yang kemudian direspon oleh Pemerintah Daerah Manokwari, dan dituangkan dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Raperda inilah yang kemudian memicu kontroversi luas di tengah masyarakat, termasuk dari kalangan Kristen sendiri.
Dikisahkan, bahwa pemicu paling kuat dari munculnya Perda Kota Injil di Manokwari adalah pembangunan Masjid Raya Manokwari. Masjid yang berlokasi di dekat bandara Manokwari itu dianggap berpotensi menghapus tanda-tanda Manokwari sebagai kota Injil.
“Tokoh-tokoh agama Kristen di Papua umumnya sepakat bahwa kehadiran Masjid Raya di Manokwari telah melukai perasaan umat Kristen Papua dan menimbulkan perasaan terdiskriminasikan. Penolakan terhadap Masjid Raya itu datang dari berbagai kalangan umat Kristen di Papua. Kekecewaan ini selalu saja dihembuskan tokoh-tokoh agama Kristen Papua, bahkan juga diutarakan oleh pejabat lembaga pemerintahan yang beragama Kristen di Papua, baik eksekutif maupun legislative.” (hlm. 168).
Masih dijelaskan dalam buku ini, bahwa bagi para pemimpin Gereja di Papua, pembangunan Masjid Raya itu bertentangan dengan kondisi Manokwari yang sejak lama diakui sebagai Kota Injil, sekalipun sebutan “Kota Injil” itu belum diformalkan. “Masjid Raya yang besarnya melampaui gereja-gereja yang pernah ada di Manokwari dikhawatirkan akan merusak keindahan Manokwari sebagai Kota Injil. Apalagi usaha tersebut ternyata melibatkan pejabat pemerintahan daerah.” (hlm. 169).
Menurut Pdt. Albert Yoku, di Kota Manokwari, setiap tanggal 5 Februari dilakukan perayaan masuknya Injil ke Tanah Papua yang dipusatkan di Pulau Mansinam. Kabarnya, pada 5 Februari 1855, dua orang misionaris asal Jerman, yakni Johann Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow, untuk pertama kalinya menjejakkan kaki di Pulau Mansinam yang berada di Kabupaten Manokwari.
Lanjut baca,