Oleh: Bana Fatahillah
(Guru Pesantren at-Taqwa Depok)
Moderasi atau yang dikenal dengan istilah wasatiyyah merupakan turunan dari kata wasath. Maknanya adalah kondisi bagi sesuatu yang berada di antara dua ujung (kutub) dari sesuatu. Al-Madani dalam kitabnya Wasathiyyat al-Islam menyebutkan bahwa “pertengahan sesuatu” adalah bagian terbaik dari suatu hal.
Contohnya, pertengahan padang rumput lebih baik dari sisi-sisi sekitarnya. Atau seperti pertengahan hewan tunggangan yang merupakan posisi terbaik bagi kestabilan penunggang dibanding posisi kedua ujungnya. Dan inilah mengapa kita sering mendegar ungkapan: “Sebaik-baik perkara adalah pertengahannnya.” Dalam kitab tersebut al-Madani secara implisit mengatakan bahwa moderasi menjalar ke seluruh aspek ajaran Islam, mencakup Akidah, Syariah dan Akhlak. Namun (Lebih lanjut, lihat Muhammad Al-Madani, Wasathiyyat Al-Islām, Daar Al-Basyir)
Contoh pertama adalah bagaimana Islam memperkenalkan konsep moderasi dalam hal cara pandang terhadap Tuhannya. Dalam hal ini Islam menengahi antara mereka yang menolak Tuhan secara utuh (ateis) dan juga yang berlebihan dalam memandang tuhan hingga menjasmanikan-Nya ataupun menyerupakan-Nya layaknya makhluk (mujassimah).
Selanjutnya adalah konsep Islam soal takdir atau lebih spesifiknya tentang perbuatan seorang hamba. Dalam hidupnya, manusia mempunyai kehendak dan kuasa atas setiap perbuatan yang akan dilakukannya. Pertanyaannya, apakah perbuatan itu seratus persen dari dirinya, sebagaimana yang dipahami kelompok Qadariyyah, atau manusia sama sekali tidak memiliki kuasa dan kehendak atas dirinya seperti kapas yang terbang mengikuti kemana angin menerbangkannya sebagaimana yang dipahami Jabariyyah.
Maka sebagai penengah dikenalkan dengan konsep “kasab” atau “iktisab” yakni adanya dua kesinambungan ketetapan yang ditakdirkan Allah dengan usaha yang kita kerahkan. Lebih detailnya Imam Al-Sanusi (w. 895 H) mendefinisikan al-Kasb sebagai sebuah pengibaratan antara keterkaitan qudrah haaditsah (kemampuan makhluk) dengan ketetapan yang terjadi dari perbuatan yang diupayakan tanpa adanya pemberian pengaruh. (Ibaaratun ‘an ta’alluq al-Qudrah al-Haaditsah bil Maqduur fii mahallihaa min ghairi ta’tsiir).
Artinya, saat kita menolong orang, misalnya, maka perbuatan menolong itu adalah hasil dari kolaborasi Kekuatan Tuhan (qudrah qadiimah) dan kuasa manusia (qudrah haaditsah). Cuma bedanya perbuatan itu dinisbahkan pada Tuhan sebagai yang menciptakan dan pada diri Anda sebagai orang yang mengupayakan. Inilah konsep Kasb tersebut.
Sebagai catatan, perbuatan ini haruslah perbuatan yang diupayakan (al-Af’aal al-Ikhtiyaariyyah) seperti perbuatan menolong. Jika perbuatan itu diluar kehendaknya, seperti terlempar batu, ketendang bola, ketusuk pedang, menggigil, dsb yang diluar kehendak hamba maka itu seratus persen dari Allah SWT, bukan dari makhluk. (lihat Imam Muhammad Al-Sanusi, Syarh al-Muqoddimah Al-Sanuusiah, Daar Maktabat al-Maarif Naasyirun Beirut, hal. 88-89)
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/beginilah-bersikap-moderat-dalam-beragama