Oleh: Bana Fatahillah
(Guru Pesantren At-Taqwa Depok)
Sebagian orang berasumsi bahwa tidak perlu berlomba-lomba dalam mengkhatamkan al-Quran. Karena menurut mereka yang bagus itu berlomba-lomba untuk memahami isi dan kandungan al-Quran. Sebab, kata mereka, berapa banyak orang yang sering mengkhatamkan al-Quran tapi tidak memahami maknanya lantas tidak bisa bertadabbur dengan kalam yang agung ini.
Asumsi ini saya dapatkan dari salah satu tulisan yang ada di media sosial. Entah banyak yang mengamininya atau tidak, ‘alaa kullihal, asumsi ini akan tetap ada dan menyebar. Perkataan ini ada indikasi menyampingkan kegiatan mengkhatamkan al-Quran, walaupun tidak secara gamblang. Padahal, jika kita telisik, khatam Quran adalah praktek yang dilakukan oleh para salaf kita, dari sahabat Nabi dan para tabiin. Untuk itu mari kita lihat bagaimana semangat mereka dalam mengkhatamkan al-Quran.
Dalam Kitab al-Shiyam, Syekh Abdullah Sirajuddin, salah satu ulama besar Syiria berkata bahwa di antara tradisi para salaf jika masuk bulan Ramadhan adalah mengkhatamkan al-Quran pada saat shalat Tarawih. Ada yang mengkhatamkannya selama sepuluh hari, ada yang tujuh hari dan ada yang tiga hari. Ada juga yang mengkhatamkannya diluar shalat, namun masih saat Ramadhan. Imam Syafii dan Abu Hanifah, misalnya, mengkhatamkan al-Quran sebanyak dua kali dalam sehari. Begitupun Imam Bukhari yang khatam sekali dalam sehari, dan mengakhiri khatamannya saat berbuka dengan harapan mendapatkan doa mustajab di waktu tersebut. Atau yang lebih menakjubkan lagi, Imam Mujahid bin Jabr yang khatam antara maghrib dan Isya pada bulan Ramadhan.
Fenomena ini bukan amalan yang dilakukan asal-asal. Mereka menyontoh baginda Nabi dan para sahabat yang memanjangkan bacaannya saat solat tarawih atau diluar itu. Hingga mereka pun mengikutinya. Kita pasti sudah populer dengan hadis sahabat Hudzaifah yang pernah ikut solat tarawih bersama Nabi. Awalnya ia kira Nabi akan rukuk setelah membaca seratus ayat surat al-Baqarah. Ternyata tidak. Ia pun terus mengira setiap seratus ayat atau bergantinya surat, bahwa Nabi akan ruku’. Dan ternyata masih tidak. Hingga beliau pun ruku’ setelah menyelesaikan surat An-Nisa. Bagi yang belum tahu, surat An-nisa itu menghabiskan 5 juz dua lembar. Dan kita bisa membayangkan sendiri bagaimana itu dihabiskan dalam satu rakaat.
Para sahabat pun tak kalah hebatnya. Saat khalifah Umar bin Khattab mengumpulkan masyarakat untuk terawih berjamaah, Ubay bin Ka’ab, yang diperintahkan untuk menjadi Imam membaca tiap satu rakaat 200 ayat lebih. Bahkan diriwayatkan mereka semua pulang dari shalat tarawih dan langsung melaksanakan sahur, sebab waktu subuh akan tiba. Itu artinya shalat tarawih mereka sepanjang malam dan tidak berhenti kecuali untuk sahur. Poinnya adalah: semangat mengkhatamkan al-Quran, khususnya dalam bulan ramadhan, memang sudah dicerminkan oleh baginda Nabi dan sahabat.
Jika ini semua pada saat Bulan Ramadhan, maka kita akan melihat bagaimana semarak salaf kita dalam mengkhatamkan al-Quran diluar Ramadhan. Imam Nawawi dalam al-Adzkar-nya meriwayatkan bahwa diantara salaf berbeda-beda dalam mengkhatamkan al-Quran. Ada yang dua bulan, sebulan, sepuluh malam, delapan malam, tujuh malam –dan inilah yang banyak diterapkan oleh kebanyakan salaf– enam malam, atau bahkan hanya butuh tiga malam. Ini semua hanya satu kali khataman. Imam Nawawi kemudian melanjutkan bahwa di sana ada yang mengkhatamkan sebanyak tiga kali dalam sehari, atau bahkan khatam sebanyak delapan kali dalam sehari; empat kali dipagi hari, dan empat kali di malamnya.
Lanjut baca,