MULTIKULTURALISME DAN UPAYA ALIENASI ISLAM

MULTIKULTURALISME DAN UPAYA ALIENASI ISLAM

 Oleh : Arif Wibowo (Budayawan)

Multikulturalisme, menurut Rogers dan Steinfatt merupakan pengakuan bahwa beberapa kultur yang berbeda dapat eksis dalam lingkungan yang sama dan menguntungkan satu sama lain; atau, pengakuan dan promosi terhadap pluralisme kultural (Everett M. Rongers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, (Illinois : Waveland Press, Inc., 1999:238). Multikulturalisme tidak sekedar pengakuan adanya pluralitas dalam masyarakat, namun juga memberikan penegasan bahwa segala perbedaannya mempunyai hak sama di ruang publik. Maka, semua komunitas harus diperlakukan sama oleh negara

Realitas kemajemukan Indonesia, yang terdiri atas 13.667 pulau, 358 suku bangsa, dengan berbagai agama yang dipeluk yakni: Islam 88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1% (Soetapa, 1991 : 1-2) menjadi argumen utama bagi para pengusung multikulturalisme untuk mendesakkan konsep ini dalam sistem pendidikan dan arah pengambilan kebijakan di Indonesia. Dari kalangan agama, pihak Kristen termasuk pihak yang gencar mengkampanyekan konsep multikuturalisme ini. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah terpinggirkannya agama-agama asli yang selama ini justru tidak diakui sebagai agama resmi. (Huub J. W. M. Boelaars, Dr. ,OFM Cap, Indonesianisasi Gereja Katolik : Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, (Yogyakarta : Kanisius, 2005:57)

Kultur Pra-Islam

Dalam perjalanan dakwah Islam di Kepulauan Nusantara, seiring dengan terjadinya konversi keagamaan massal penduduknya, secara perlahan terjadi proses integrasi Islam ke semua sisi identitas kultural masyarakat. Nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih, dan disaring lebih dulu untuk kemudian diserap (Syamsuddin Arief, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, 2008:238)

Proses Islamisasi kebudayaan ini telah menjadikan Islam sebagai konsep dasar hampir semua kebudayaan suku di Indonesia yang telah memeluk Islam. Kuatnya identitas Islam merupakan rintangan utama bagi Penginjilan di Indonesia pada masa kolonialisme.  Hendrik Kreamer menggambarkan kesulitan ini sebagai berikut : ”Islam sebagai problem dari misi, tidak ada agama selain Islam yang untuknya misi bekerja banting tulang tanpa hasil dan padanya misi menggarukkan jarinya sampai berdarah dan koyak.” (Kareel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian, Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596 – 1942), 1995:164)

Setelah strategi penginjilan langsung kepada kaum muslimin tidak berhasil, maka dilakukan proses pelemahan secara tidak langsung. Cara untuk mengurangi kekuatan Islam itu adalah dengan jalan mempromosikan kebiasaan rakyat kuno, adat dan agama rakyat (pra Islam) sampai pada modernisasi perawatan kesehatan dan pendidikan (Steenbrink, 1995:144).

Pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakarta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para Javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Mereka berusaha mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra-Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda (Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, 1997:7)

Lanjut baca,

https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/multikulturalisme-dan-upaya-alienasi-islam

 

Dipost Oleh Super Administrator

Admin adianhusaini.id

Post Terkait