Oleh: Adnin Armas
(Alumnus ISTAC-IIUM)
Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas tercatat sebagai salah satu pengkritik yang tajam terhadap gagasan Transendentalisme (Trancendent Unity of Religions). Bahwa, seolah-olah semua agama memiliki titik temu pada level transenden. Agama-agama hanya berbeda pada level eksoterik dan akan bertemu pada level esoterik. Intelektual Muslim yang menjadi pembicara penting dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama di Mekkah, 1977, ini tidak asing dengan gagasan titik-temu metafisik agama-agama.
Al-Attas – selain menguasai banyak literatur tentang wacana titik-temu antar agama -- juga mengenal secara personal tokoh-tokoh transendentalis seperti Frithjof Schuon, Martin Lings, Seyyed Hossein Nasr dan lainnya. Mereka sebenarnya saling kenal. Bahkan Seyyed Hossein Nasr pernah mengunjunginya di ISTAC, Kuala Lumpur, suatu lembaga pendidikan PascaSarjana dalam bidang pemikiran dan peradaban Islam, yang didirikan oleh al-Attas.
Inti argumentasi kalangan transendantalisme atau perenialisme sebenarnya berkutat pada pembagian dua dimensi agama, yaitu dimensi esoteris (batin) dan eksoteris (luar). Bagi pendukung teori ini, dimensi esoteris dianggap lebih tinggi dibanding dimensi eksoteris. Istilah esoteris dimaknai sebagai pemahaman Tuhan pada tingkat Esensi. Maksudnya, Tuhan dipersepsikan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna.
Pada tingkat esoteris inilah, kalangan transendentalis menganggap agama-agama menyatu. Dalam pandangan mereka, tingkat esoteris ini dapat diketahui melalui Intelek. Bagi kalangan transendentalis, semua agama bersatu untuk mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna.
Al-Attas mengkritik puncak argumentasi kalangan transendentalis, yaitu konsepsi esoteris. Kritiknya yang tajam, padat dan lugas dapat dibaca dalam magnum opus-nya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Menurut Syed Naquib al-Attas, konsep Tuhan pada level esoteris seperti anggapan kalangan transendentalis, adalah konsep yang keliru. Pengakuan akan adanya Tuhan saja tidak cukup. Sebabnya, Iblis juga mengakui Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Jadi, memahami Tuhan hanya sebagai Esensi (Tuhan sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna), masih bisa sesat.
Konsep Tuhan dalam Islam bukan hanya mengakui-Nya sebagai satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Namun, menurut Islam, pengakuan terhadap-Nya harus juga diikuti sekaligus dengan pengakuan untuk tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yang telah di utus-Nya.
Jika hanya mengakui Tuhan, tetapi mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang diajarkan oleh Tuhan melalui nabi-Nya, maka seseorang itu akan disebut kafir. Orang seperti ini tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya.
Lanjut baca,