Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Dalam Pidato Perdana Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah, 21 Oktober 2020, saya menyampaikan pesan tentang perlunya Pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Pada awal abad ke-20, Pesantren didirikan oleh para ulama sebagai lembaga perjuangan untuk melakukan perlawanan dan menyiapkan kader-kader pejuang di tengah masyarakat.
Dalam buku “Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan antar Generasi” (Jakarta: Laznas DDII, 2019), Mohammad Natsir menjelaskan peran penting pondok pesantren sebagai lembaga perjuangan melawan penjajah. Menurut Pak Natsir, pesantren didirikan oleh para kyai untuk merespon Politik Etis penjajah. Lebih jauh, Mohammad Natsir menjelaskan keberadaan pesantren sebagai lembaga perlawanan melawan penjajah:
“Reaksi pertama datang dari para ulama kita. Ulama kita melakukan ‘uzlah’, melakukan hijrah mental, menyendiri begitu. Dengan baik-baik, dengan tidak melawan secara fisik, karena senjata sudah tidak ada lagi. Ia meninggalkan kota-kota besar supaya jangan pemuda-pemuda ini terpengaruh oleh upaya-upaya penjajah. Jadi kita bawa generasi muda kita ke pinggir-pinggir kota, ke dessa-desa, ke gunung atau ke pantai, sehingga tidak terpengaruh oleh kehidupan di kota besar. Nah, di tempat yang terasing itulah para ulama membuka pesantren-pesantren.
Dari apa yang saya kemukakan tadi, jelas terlihat bahwa pesantren adalah lembaga yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan lembaga pendidikan, tetapi mempunyai peran yang penting dalam perjuangan nasional. Waktu itu, misalnya, dalam rangka menanamkan jiwa anti penjajah, para santri tidak boleh memakai dasi, haram hukumnya, karena menyerupai penjajah, orang-orang Barat. Pantalon juga haram. Musti pakai sarung. Kita memang melakukan ‘uzlah’, baik secara fisik atau pun secara spiritual. Pesantren-pesantren ini mempunyai alam pemikiran sendiri, alam perasaan sendiri, yang berbeda dengan apa yang di kota-kota yang dipengaruhi oleh politique asosiasi dari Belanda. Mungkin kalau kita memandang larangan pakaian itu dari segi fikih dalam dalam kondisi sekarang, kita akan tersenyum. Tapi sebagai metode perjuangan, dan dalam konteks penjajahan waktu itu, cara yang dipakai para ulama kita dengan uzlahnya ini, merupakan pemikiran yang amat cerdik, kalau tidak kita katakan brilliant.”
*****
Salah satu strategi penjajah dalam melemahkan umat Islam adalah dengan cara menjauhkan umat Islam dari agamanya. Pak Natsir tahu strategi penjajah itu. Dalam artikelnya berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”, Natsir mengutip ungkapan Prof. Snouck Hurgronje, dalam bukunya Nederland en de Islam:”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).
Lanjut baca,
http://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/strategi-uzlah-melawan-penjajah--dulu-dan-sekarang