Oleh : Arif Wibowo
(Koordinator Pusat Studi Peradaban Islam Surakarta)
Dilihat dari sejarah Islamisasi, kawasan lereng Merapi bisa dikatakan agak belakangan, terutama bila dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa Tengah. Ini terkait dengan topografinya yang relatif lebih sulit, dibandingkan daerah lain. Dalam catatan Kareel Steenbrink pada abad ke 17, wilayah gunung Merapi masih merupakan wilayah Hindu. Ini terbukti dari naskah-naskah yang ditemukan di daerah tersebut. Dengan mengutip pendapat W. van der Molen, Steenbrink menjelaskan:
Kebanyakan karangan Jawa kuno memang terkumpul di Pulau Bali sejak pertengahan abad ke 19. Satu-satunya koleksi besar yang lebih tua berasal dari pertapaan di lereng gunung Merbabu, dalam koleksi itu ditemukan sejumlah naskah, yang berasal dari abad ke 17. Pertapaan-pertapaan di Gunung Merapi pada waktu itu masih menganut agama Hindu. Pada periode terakhir abad ke 18, pertapaan tersebut memeluk agama Islam, sehingga koleksi Merbabu itu juga ditemukan karangan campuran Hindu – Islam dan karangan yang kurang lebih sudah murni keislamannya. (Kareel A Steenbrink, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat, Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press hal. 34-35), dikutip dari DW. van der Molen, Javaanse Tekskritiek, (Leiden :KITLV, 1983).
Sejalan dengan Steenbrink, K.H. Muhammad Sholikhin, seorang penulis produktif tentang Islamisasi di Tanah Jawa, juga menjelaskan, bahwa rintisan dakwah di daerah lereng Merapi dimulai pada tahun 1700-an. Dalam wawancara dengan penulis, Kyai Sholikhin mencatat beberapa nama yang aktif merintis dakwah Islam di lereng Merapi, seperti Kyai Handoko Kusumo, Kyai Ragasari, Kyai Hasan Munadi dan Kyai Rohmadi. Nama yang terakhir ini populer dikenal sebagai juru kunci Merapi.
Diperkirakan, mereka adalah generasi kedua murid Sunan Kalijaga. Dari nama-nama tersebut, yang paling legendaris adalah sosok Kyai Handoko Kusumo. Dalam tradisi tutur penduduk setempat, Kyai Handoko disebut-sebut seorang keturunan Arab, berkulit putih kemerahan dan berhidung mancung. Gara-gara faktor hidung mancung inilah, masyarakat setempat menjulukinya sebagai Mbah Petruk. Bahkan, Kyai Handoko Kusumo atau Mbah Petruk ini akhirnya dimitoskan oleh masyarakat sebagai penunggu Merapi, karena tidak diketahui dengan jelas kapan dan dimana meninggalnya. Beberapa kalangan menganggapnya moksa.
Proses peralihan dari Hindu yang bercorak Bhairawatantra ke Islam memang berjalan evolutif. Karena itu, meskipun Islam sudah diterima sebagai agama baru, tetapi sisa-sisa Hindu masih terlihat dari aneka kesenian rakyat dan ritus budaya penduduk seperti wayang orang, jathilan, jalantur, seni pahat, seni lukis, jangkrik ngentir, kobro dan slawatan. (Yohannes Paryogo et al, 2006, Opera Zaman, Grafindo Litera Media, Yogyakarta).
Lanjut baca,
https://member.adianhusaini.id/member/blog/detail/menyimak-proses-islamisasi-di-lereng-merapi