Artikel Terbaru ke-1.914
Oleh: Dr. Adian Husaini (www.adianhusaini.id)
Salah satu pekerjaan rumah yang berat dan penting bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto adalah mendudukkan Islam dan Pancasila dengan adil. Jika masalah itu bisa diletakkan dengan adil, maka insyaAllah, pembangunan di Indonesia akan meraih sukses dan harapan terwujudnya masyarakat adil-makmur dapat tercapai.
Sejak tahun 1945, hubungan Islam dan Pancasila terus menjadi perbincangan dan perdebatan hangat. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), ada dua arus utama aspirasi ideologis, yaitu (1) aspirasi nasionalis Islam dan (2) nasionalis kebangsaan. Pemeluk agama lainnya tidak ada yang mengusulkan agamanya menjadi dasar negara.
Bung Karno kemudian memberikan solusi dengan jalan kompromi maksimal dari dua aspirasi tersebut dalam bentuk perumusan Piagam Jakarta. Tapi, hal ini pun digugat dan diubah karena tekanan berbagai pihak. Akhirnya Presiden Soekarno – lewat Dekrit 5 Juli 1959 – mengembalikan Piagam Jakarta sebagai satu kesatuan dengan UUD 1945 dan menjiwai Konstitusi tersebut.
Tetapi, setelah itu, sejarah mencatat upaya Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menguasai Indonesia dengan menyalahartikan Pancasila. Upaya pemerintah Orde Lama untuk menyatukan komunisme dengan agama berujung kepada kegagalan, bahkan tragedi nasional.
Ini pelajaran berharga! Bahwa Pancasila tidak bisa dikompromikan dengan paham anti-agama. Bahwa, Indonesia adalah negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang dilakukan oleh PKI adalah satu bentuk ekstrimisme dalam menafsirkan Pancasila yang sepatutnya menjadi pengalaman berharga bagi bangsa Indonesia.
Rezim Orde Baru yang menggantikan Orde Lama pun kemudian terjebak ke dalam bentuk ekstrimisme baru dalam memahami Pancasila. Yakni, menempatkan posisi Pancasila setaraf dengan agama. Yakni, menjadikan Pancasila sebagai “agama baru” yang menetapkan standar moral baik dan buruk.
Secara halus, kebijakan pemerintah Orde Baru itu dikritik oleh para ulama yang melakukan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983. Salah satu keputusan penting para ulama itu adalah sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
As’ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dalam bukunya, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, mencatat, bahwa salah satu kekeliruan Orde Baru adalah memonopoli tafsir tunggal Pancasila. Menurut As’ad Said Ali, di masa Orde Baru, Pancasila telah ditempatkan sebagai sebuah ideologi yang komprehensif; Pancasila adalah jiwa dan kepribadian, Pancasila adalah pandangan hidup, Pancasila adalah tujuan, Pancasila adalah perjanjian luhur, Pancasila adalah dasar negara, dan seterusnya.
Lanjut baca,
SEMOGA PRABOWO BISA MELETAKKAN ISLAM DAN PANCASILA DENGAN ADIL (adianhusaini.id)